Minggu, 22 Mei 2011

Dari Mendengarkan, Belajar Bersabar

Tidak semua kata-kata yang terangkai adalah keluh kesah. Adakalanya apa yang diceritakan dimaksud agar yang mendengar dapat juga mengambil hikmahnya. Bisa jadi dengan bercerita dapat mengurangi beban yang menghimpit. Terkadang orang bercerita hanya untuk didengarkan. Tidak menginginkan nasehat. Bisa jadi juga orang menceritakan masalahnya karena merasa sangat membutuhkan nasehat atau penjelasan.

Sebaik-baik tempat bertanya adalah Allah. Sebaik-baik tempat menumpahkan isi hati adalah juga Allah. Allah tak pernah bosan mendengarkan. Ia tak pernah mentertawakan kebodohan kita. Karenanya, hanya pada Allah kita dapat menceritakan hal yang paling memalukan sekalipun. Bahkan Ia suka, ketika hambaNya mengadu dan meminta dengan ditemani derai air mata. Ia, yang akan mengambil keputusan, adalah yang Maha Adil dan Bijaksana, sangat tahu siapa yang bersalah dan tidak. Ia pun, yang tak pernah lepas dari mengawasi setiap gerak laku hambaNya dan mendengar perkataan bahkan lintasan hati, sangat tahu siapa yang layak mendapat hukuman dan siapa yang tidak. Meskipun sudah mengadu kepada sebaik-baik tempat mengadu, terkadang kita masih membutuhkan teman untuk mendengarkan, karena Allah tak langsung menjawab keluhan atau pertanyaan.

Ada banyak sarana yang menjadi perantara Allah dalam menjawab. Salah satunya adalah manusia. Dari sisi psikologi, menceritakan permasalahan yang dihadapi sangat membantu untuk mengurangi beban yang bisa mengakibatkan stress. Bagi wanita secara umum, perlu membicarakan masalah mereka dengan orang lain untuk memproses pikiran mereka. Berbeda halnya dengan pria yang lebih suka memikirkan masalahnya sendiri saja.

Manusia suka mengeluh. Itu pasti. Sebagaimana yang tersebut dalam Al Qur’an surat Al Ma’arij ayat 19-20, “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah”. Hal yang kecil seringkali dikeluhkan, apalagi hal yang besar. Menjadi pendengar yang baik terkadang tak mudah. Apalagi mendengarkan keluhan yang disertai sumpah serapah. Cerita yang berulang. Hanya keluhan. Sangat membosankan. Belum lagi ketika mendapat curahan hati kondisi kita sendiri sedang menghadapi banyak masalah atau sedang tidak nyaman. Cerita yang tidak penting menurut kita, bisa jadi penting bagi yang bercerita.

Bagi yang kurang suka mendengarkan, butuh perjuangan untuk bisa mendengarkan dengan tetap manis hingga cerita selesai disampaikan. Bagi yang senang berkomentar, biasanya cerita baru disampaikan prolognya, belum sampai pada cerita inti, sudah menyela dengan memberikan komentar. Terkadang sudah menyimpulkan terlebih dulu, sementara cerita belum tuntas. Hingga tidak jarang menjadi salah persepsi. Cobalah dengarkan , meski mungkin telinga sudah gatal karena gemas dan bosan cerita tak juga diselesaikan. Tunjukkan bahwa kita memperhatikannya bercerita dengan mengajukan pertanyaan atau cukup menunjukkan mimik ketertarikan. Mungkin memang kita hanya cukup menjadi pendengar. Nasehat atau komentar kita sedang tidak dibutuhkan. Hanya telinga dan perhatian kita yang di butuhkan. Sama halnya saat mendapat curahan hati melalui tulisan. Terkadang, baru membaca kalimat awal, sudah membuat kita tak tertarik. Segera menghapus, membuang, mengabaikan, atau menyingkirkan dari pandangan kita. Sementara yang menyampaikan mungkin sangat membutuhkan perhatian kita. Bisa jadi juga menanti jawaban, komentar, atau nasehat kita.

Belajar mendengarkan sama artinya kita belajar bersabar. Juga belajar menghargai orang lain. Bersabar memang tak mudah. Meski untuk hal kecil seperti mendengarkan, baik secara lisan maupun tulisan. Sangat bisa, jika kita mau bersungguh-sungguh. Belajar bersabar dari hal yang kecil, untuk belajar bersabar pada hal yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar