Selasa, 24 Mei 2011

...A Y A H...

Ayah....
Mengenangmu dalam keheningan berbalut rindu.
Mengalirkan anak sungai di ujung mataku.

Saat pertama belajar bersepeda,
Ayah berlarian memegangi bagian sepeda belakangku sementara kukayuh sepeda,
Tanpa pernah terlihat olehku Ayah kepayahan.
Hampir saja kumasuk jurang jika tak segera Ayah pegang sepedaku.

Setiap kali saat belajar bersama Ayah tiba,
Adalah saat ketegangan menyusup persendianku.
Tungkaiku melemah.
Karena Ayah mengajariku dengan keras.
Meski nyaliku menciut,
Aku tak pernah merajuk atau patah semangat.

Kulihat binar gembira di mata Ayah,
Ketika Ayah katakan telah menulis ‘Limbuk Juara’ di tembok yang membentengi rumah kita di bagian bawah pinggir kali.
Ya..tulisan itu begitu  besar.
Dan tak dapat hilang karena Ayah menuliskannya dengan jari ketika  semen tembok itu masih basah.
Kulihat pengharapan yang begitu  tinggi atas diriku.
Buatku cemas tak dapat penuhi asamu Ayah.

Memasuki bangku sekolah menengah pertama,
Kuputuskan untuk mengikuti yang lainnya sekolah di Jogjakarta.
Ayah tak melarang.
Mulailah kumelanjutkan aktivitasku  berorganisasi.
Ayah tak begitu suka.
Aku tetap berorganisasi hingga saat ini.
Di sana aku belajar banyak hal.

Di bangku SMA kelas tiga,
Dimulailah hijrahku.
Berjilbab...
Ayah sempat mempertanyakan kesungguhanku.
Diskusi agama dengan Ayah semakin intense.
Dan semakin panas karena kekerasan hatiku dan Ayah yang tak mau mengalah.
Barulah pada saat kuliah aku lebih banyak mengalah.
Buat Ayah takjub,
Si keras kepala dapat melembut.

Kesendirianku di rumah besar dan horor,
Menghadirkan kebanggaan sendiri bagi Ayah.
Ayah tertawa kala melihat di kamarku ada tombak besar yang kujadikan senjata menjaga diri.
Bukan ‘penghuni lain’ yang kutakuti,
Tapi penjahat yang akan menerkamku yang kutakuti.

Dengan berbinar pula Ayah mendengar kisahku yang kuliah sambil berdagang.
Tanpa pernah kuminta, Ayah memberiku modal.

Kala seorang lelaki shalih meminta ijin menemaniku melukis pelangi hidup,
Dengan berat hati Ayah restui.
Kala kujalani separuh diinku di masa kuliah belum usai,
Ayah ijinkan tanpa sepenuh hati.
Ayah tak pernah berkata sendiri untuk menagih janjiku tamatkan kuliah.
Karena itu hubungan dengan Ayah sempat merenggang.

Rasaku..
Hampir tak pernah meminta jatah pada Ayah.
Hingga kini,
Ayah hampir tak pernah mendengar kisah dukaku.
Sejak dulu Ayah melihatku sebagai gadis dan wanita tegar (katanya..).

Hanya padaku Ayah banyak berkisah.
Dan kutahu kekerasan hati dan didikkan Ayah,
Adalah buah dari kerasnya hidup Ayah dulu.

Hanya aku yang berani bicara pada Ayah.
Hanya aku yang betah berkisah dan diacuhkan Ayah.
Karena kuyakin dalam diam,
Ayah mendengar dan mencermati.

Kedekatan dengan Ayah,
Membuatku bergelar..’Anak Berlian Ayah’.

Ayah...
Banyak kisah yang kukenang buat airmataku menggenang.
Juga karena rindu yang tertahan.

Ayah...
Maafkanku...
Yang tak dapat sering berkunjung ke rumah penuh kenangan masa kecilku.
Yang sering hanya dapat berkunjung dengan lisan dan hatiku.
Inginnya berlari dan memelukmu kala rindu menyergap.
Tapi dayaku terbatas.
Bahkan waktu pun sering sulit diajak berkawan.

Ayah...
Maafkanku...
Jika tak jadi seperti pengharapan Ayah.
Jika pernah melarakan Ayah.

Ayah...
Semoga Dia selalu menjaga Ayah.
Memuliakan Ayah.
Dan membalas cinta dan kebaikan Ayah dengan kebaikan yang terbaik.
Amiiin...


Kupinta padaNya...
Agar Dia bisikkan padaku jika telah hampir tiba waktu berpisah denganmu Ayah.
Jika Izrail akan menjemput Ayah lebih dulu,
Ia ijinkanku membersamai Ayah,
Menuntunkan kalimat tauhid,
Hingga akhir waktu Ayah.



.....selasa 24mei2011, 01:01......
(saat menulis artikel, tiba-tiba ingat dan rindu padanya. dan jadilah puisi ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar